Notification

×

Kategori Berita

Tags

Kode Iklan Disini

Kode Iklan Disini

Menarik Dilirik

Tag Terpopuler

Masyarakat Bima Panen Derita: Tengkulak Untung, Petani Terkubur Utang

Wednesday, April 23, 2025 | Wednesday, April 23, 2025 WIB Last Updated 2025-04-24T00:38:32Z
Furkan/writer


Oleh : Furkan Y.K, Mahasiswa Hukum Universitas Nahdlatul Wathan Mataram


Opini, Dompu Siar - Di atas tanah yang mereka bajak setiap musim, di bawah terik matahari yang membakar kulit, dan dengan tangan penuh lumpur serta harapan, para petani jagung di Kabupaten Bima menggantungkan hidup. Mereka bukan pengusaha, bukan elite yang bermain di balik meja, tapi mereka adalah penjaga pangan bangsa. Namun saat ini, ketika hasil panen mereka melimpah, justeru penderitaan yang mereka dapatkan. Harga jagung anjlok, pemerintah abai, dan mereka dibiarkan berjuang sendirian.


Petani jagung, dari harapan menuju keputusasaan: musim panen tahun ini yang seharusnya menjadi musim harapan, berubah menjadi musim keputusasaan. Harga jagung di Kabupaten Bima hanya berkisar antara Rp 4.200 hingga Rp 4.300 per kilogram, jauh di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang telah ditetapkan sebesar Rp 5.500. Selisih yang cukup untuk membunuh keuntungan dan menyisakan utang.


Petani telah mengeluarkan modal besar: sewa lahan, pupuk, pestisida, hingga biaya tenaga kerja. Mereka berharap harga jagung yang tinggi akan menutupi biaya-biaya itu dan menyisakan sedikit keuntungan untuk hidup, menyekolahkan anak atau setidaknya bertahan sampai musim berikutnya. Tapi ketika panen tiba, harga terjun bebas. Harapan itu pupus. Yang lebih menyakitkan, mereka bukan hanya gagal menjual dengan harga yang layak, tapi juga tidak mendapat perlindungan apa pun dari negara. Tak ada tangan negara yang hadir untuk menenangkan kegelisahan mereka. Tak ada intervensi kebijakan yang berpihak. Yang ada hanyalah diam, pura-pura tidak tahu, dan mengelak dari tanggung jawab.


Ketika pemerintah daerah membisu, Bupati Bima dan Gubernur NTB seharusnya menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan nasib petani. Tapi yang terjadi justeru sebaliknya, mereka diam, pasif, dan tampaknya tidak memiliki urgensi apa pun. Dalam pernyataan publiknya, Bupati hanya menyurati Bulog dan mengundang beberapa perwakilan pabrik. Langkah itu tidak cukup, bahkan dinilai terlambat. Ini bukan sekadar soal komunikasi, ini tentang krisis yang nyata di lapangan.


Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal pun hanya memberikan janji normatif, akan mencarikan solusi. Tapi kapan? Panen sudah lewat, harga sudah jatuh, dan petani sudah rugi. Apa artinya solusi jika tidak hadir saat rakyat membutuhkannya? Pemerintah daerah tidak bisa sekadar menjadi pembaca berita dan pemberi janji. Mereka harus turun tangan, harus bertindak. Tapi nyatanya, tak ada keberpihakan yang nyata dan itu menyakitkan bagi petani yang telah memberi kontribusi nyata pada ketahanan pangan daerah.


Tengkulak, simptom dari vakumnya negara: di tengah krisis ini, pihak yang justru bergerak cepat adalah para tengkulak. Mereka datang dengan truk-truk besar, membeli jagung petani dengan harga yang sangat rendah. Mereka tahu petani tidak punya pilihan. Tidak ada lembaga negara yang menyerap hasil panen mereka. Tidak ada gudang yang terbuka untuk mereka. Dan tidak ada regulasi yang berpihak. Maka tengkulak pun menjadi "penyelamat" meski dalam wujud penindas. Mereka memanfaatkan kekosongan intervensi negara dan menciptakan sistem baru: eksploitasi legal. Petani yang tak sanggup menahan hasil panennya lama-lama akhirnya menjual dengan harga apa pun yang ditawarkan. Dan mereka pun rugi.


Fenomena ini bukan hal baru, tapi ia menjadi bukti nyata bahwa negara telah gagal menjadi pelindung. Ketika negara absen, hukum rimba pun berlaku. Dan, dalam hukum rimba ekonomi, petani selalu jadi mangsa.


Bulog ada, tapi tak hadir: salah satu aktor kunci yang seharusnya menjadi benteng pertahanan petani adalah Bulog. Tugas Bulog adalah menyerap hasil pertanian dengan harga yang wajar, menjaga stabilitas harga, dan menjamin pasokan. Tapi apa yang terjadi? Bulog mengaku tak bisa menyerap jagung karena keterbatasan gudang. Gudang penuh, kapasitas terbatas, mekanisme lamban, dan ujung-ujungnya petani harus menjual ke tengkulak karena tidak bisa menunggu.


Ini bukan semata kesalahan teknis. Ini soal perencanaan. Bagaimana mungkin pemerintah pusat terus menggembar-gemborkan program swasembada jagung, tapi tidak menyediakan sarana penunjangnya? Bagaimana mungkin Bulog diminta menyerap, tapi tidak diberikan kapasitas logistik yang cukup? Petani berproduksi, negara tidak siap menyerap. Ini ketimpangan struktural yang membuat pertanian tidak lagi berdaya. Dan, Bulog yang seharusnya menjadi jadi mitra petani, justru berperan sebagai penonton.


Ketimpangan terstruktur dan sistemik: situasi ini memperjelas satu hal: krisis petani jagung bukan hanya soal harga. Ini adalah soal struktur. Sistem pertanian kita--baik dari sisi produksi, distribusi, hingga perlindungan--masih timpang dan tidak adil. Petani disuruh tanam, disuruh panen, disuruh meningkatkan produksi, tapi ketika saatnya menjual, mereka ditinggalkan.


Negara hanya hadir di awal--memberi pupuk bersubsidi, memberi pelatihan, memberikan dorongan produksi. Tapi setelah itu negara pergi. Petani dibiarkan berhadapan dengan pasar yang tidak ramah, sistem distribusi yang eksploitatif, dan jaringan tengkulak yang agresif. Ketimpangan ini sudah berlangsung lama. Dan jika tidak ada reformasi total dalam kebijakan pangan dan pertanian, maka penderitaan petani akan terus berulang. Mereka akan terus ditipu oleh janji negara yang tidak ditepati.


Retorika swasembada, palsu dan menyesatkan: satu hal yang patut digarisbawahi: krisis harga jagung ini terjadi justru di tengah program pemerintah pusat yang menggaungkan swasembada jagung. Ini ironis. Di satu sisi, petani didorong untuk meningkatkan produksi. Di sisi lain, negara tidak menjamin harga. Swasembada tanpa perlindungan harga hanyalah ilusi. Ia menjadi jebakan.


Petani digiring untuk menanam lebih banyak, tapi tidak ada jaminan bahwa hasil mereka akan dibeli dengan harga yang layak. Akhirnya, swasembada ini bukan untuk petani, tapi untuk industri. Untuk pabrik pakan, untuk kepentingan ekspor. Bukan untuk kesejahteraan mereka yang menanam jagung itu sendiri. Retorika swasembada ini menyesatkan karena seolah-olah produksi adalah satu-satunya masalah. Padahal, masalah utamanya adalah keadilan harga, infrastruktur serapan, dan keberpihakan negara.


Dampak sosial-ekonomi yang mengakar: krisis harga jagung bukan sekadar tentang uang. Ini soal kehidupan. Banyak petani yang terjerat utang karena mereka berproduksi dengan dana pinjaman. Mereka berharap panen bisa melunasi utang itu. Tapi sekarang, jangankan melunasi, untuk menutupi modal saja tidak cukup.


Banyak anak petani yang putus sekolah. Banyak keluarga petani yang akhirnya harus menjual aset. Banyak petani yang trauma untuk kembali bertani musim depan. Dan yang paling menyedihkan: banyak generasi muda yang akhirnya enggan menjadi petani. Mereka melihat orang tua mereka menderita, dan tidak ingin mewarisi penderitaan itu. Dalam jangka panjang, ini akan menghancurkan regenerasi pertanian. Negeri ini akan kekurangan petani. Dan jika itu terjadi, ketahanan pangan hanya akan menjadi mitos.


Apa yang harus dilakukan negara?, Negara harus segera turun tangan. Bukan dengan janji, tapi dengan kebijakan konkret.


Pertama, pemerintah harus menjamin harga dasar yang adil bagi petani. Jika HPP sudah ditentukan Rp 5.500, maka negara harus menjamin bahwa petani bisa menjual dengan harga itu.


Kedua, pemerintah harus memperluas kapasitas gudang dan penyerapan Bulog, terutama di daerah sentra jagung seperti Bima. Jangan sampai gudang penuh dijadikan alasan pembiaran.


Ketiga, perlu ada regulasi tegas terhadap tengkulak dan pembentukan koperasi petani berbasis desa yang kuat. Petani harus punya kekuatan tawar.


Keempat, program swasembada harus direvisi dengan pendekatan holistik: dari produksi, distribusi, hingga perlindungan harga.


Dan terakhir, pemerintah daerah harus hadir secara aktif. Tidak bisa lagi hanya menyerahkan semuanya ke pusat. Bupati dan Gubernur harus bertanggung jawab. Mereka dipilih rakyat, maka mereka wajib membela rakyat, terutama petani. (Red) 

Menarik Dilirik

×
               
         
close