Beda dengan tradisi, “Happy Brethe To You” yang dialibikan sebagai ucapan dan do’a panjang umur, walaupun pada historisnya itu adalah sejarah perayaan pembantaian masal untuk ummat Islam oleh Ratu Isabella dan Raja Ferdinando (1425 M) di Andaluzia. Insidennya terus mengobarkan api dendam yang membara pada internal Islam. Beda pula dengan tradisi peringatan hari pemasungan masal kepada para penentang Gereja yang menghadirkan pobia pada jemaatnya, dan akan jauh beda dengan tradisi pembersihan Jenazah di tanah Toraja Indoensia yang mengambarkan manusia tidak akan berpisah. Tentang Indonesia tentu memiliki banyak tradisi, dari banyak tradisi ini bukti kebinekaan itu ada.
Di Nusa Tengga Barat tepatnya di Kabupaten Bima-Dompu, bahwa tentang membuat dan menikmati kuliner lokal dari hasil panen yang didapat itu diaplikasikan sebagai bentuk kebiasaan atau tradisi, dikenal dengan tradisi “Puru Ndiha Timbu” atau Tradisi syukur. Rasa Syukur terhadap rezeki, entah hasil Panen atau Jabatan. Tradisi ini merupakan perayaan yang begitu dinikmati dan ditunggu oleh masyarakat Bima-Dompu, dan biasanya dirayakan setelah musim padi berakhir. Perayaan dan pembuatannya telah diwarisi dari zaman ke zaman. Pada perayaannya (Puru Ndiha) merupakan ajakan untuk tetap bersyukur akan sedikit dan banyaknya hasil panen. Sedangkan pada makanannya (Timbu) memiliki Khas dan manfaatnya yang begitu banyak. Seperti pengisi perut pengganti nasi di waktu pagi, dan juga hasiat-hasiat lainnya. Makanan yang telah menyandang wejangan khas kuliner lokal ini, merupakan kuliner yang telah dinikmati secara turun temurun oleh masyarakat Bima-Dompu.
Seiring berkembangnya zaman, tradisi ini sudah jarang dijumpai pada masyarakat Bima-Dompu. Jarang dalam tradisi syukurnya, tapi aktivitas “Puru Timbu” masih bisa dijumpai di pinggiran jalan raya Desa Bolo Kecamatan Madapangga dan kelurahan Bada Kabupaten Dompu
Asumsi lain, memungkinkan bahwa kasus Narkoba; atau tidak bersyukur dengan Kekayaan yang sudah ada. Lalu kasus pemerkosaan; atau tidak bersyukur dengan satu istri hingga anak kandung pun jadi luapan nafsu birahi. Juga mungkin, keserakahan dari para pemegang kekuasaan, baik serakah jabatan dan juga serakah Nominal. Lalu pembabatan dan penggundulan hutan secara liar oleh sekelompok masyarakat itu bukan hanya pada persoalan ekonomi dan politik, tapi juga persoalan rasa syukur yang hilang dan Sabda-sabda kebudayaan yang tidak mau dibuka kembali.
Lebih jauh lagi, pada studi historis, bahwa benar kejatuhan Kekaisaran Tarta dan Mongol adalah sebab mereka tidak kembali pada taktik perang yang turun temurun sebagai sifat terwariskan (Budaya). Tradisi “Puru Ndiha Timbu” atau bentuk kesyukuran, yang pada “hakeka na” memerintahkan semua penghuni Dana Mambari ro Mpaha dan Dana Nggahi Rawi Pahu untuk bersyukur dari setiap hasil dan rezeki yang didapat.